Selasa, 27 Januari 2009

Afirmasi Bentuk Ketidakadilan

Presiden Dapat Dimakzulkan jika Buat Perpu
Selasa, 27 Januari 2009 | 00:25 WIB 

Jakarta, Kompas - Sikap Komisi Pemilihan Umum untuk memberikan keistimewaan kepada calon anggota legislatif atau caleg perempuan adalah bentuk ketidakadilan. Kebijakan afirmatif itu juga berpotensi memunculkan konflik antarcaleg maupun antarlembaga negara.

Demikian dikatakan anggota Komisi III DPR Wila Chandrawila S kepada Kompas di Jakarta, Senin (26/1). ”Kalau KPU tetap mengajukan kebijakan afirmatif pada caleg perempuan agar terpilih, itu adalah pemanjaan dan ketidakadilan pada caleg pria. Ini juga konstruksi demokrasi yang buruk,” ujar anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) DPR itu.

Wila, yang kini juga menjadi caleg, menilai, KPU tak memiliki kewenangan untuk mengatur sesuatu yang tak diperintahkan undang-undang (UU). ”Yang harus dilakukan partai politik di masa depan adalah memilih caleg perempuan yang potensial. Harus ada pula pendidikan politik berkesinambungan pada konstituen perempuan oleh politisi perempuan,” ujar Guru Besar Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, itu.

KPU berencana membuat aturan terkait penentuan caleg terpilih di suatu daerah pemilihan (dapil). Jika di suatu dapil, sebuah partai politik meraih tiga kursi, kursi ketiga diberikan pada caleg perempuan. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak.

Potensi konflik

Secara terpisah, dosen Ilmu Politik di Universitas Wahid Hasyim, Semarang, Joko J Prihatmoko, mengingatkan, KPU tak memiliki kewenangan untuk menetapkan kedaulatan yang dimiliki pemilih ke dalam kursi untuk caleg terpilih. Jika KPU memaksakan diri untuk membuat kebijakan afirmatif bagi caleg perempuan, hal itu berpotensi konflik yang tinggi, baik antarcaleg dalam satu partai maupun antarlembaga negara.

”Saat ini seluruh caleg menggunakan segala potensinya untuk meraih kursi. Ekspektasi caleg sangat tinggi. Jika ada caleg yang mendapatkan kursi ketiga, tetapi dikalahkan dengan kebijakan KPU, pasti bisa timbul konflik. KPU juga akan menuai gugatan dari caleg,” ingat Joko.

Joko juga menyebutkan, kebijakan afirmatif pada caleg perempuan itu juga membuat KPU berhadap-hadapan dengan DPR. Dengan kondisi DPR seperti saat ini, kebijakan itu pasti akan ditolak Dewan. Jika kebijakan itu dituangkan dalam bentuk keputusan KPU, bisa diuji oleh parpol. Kalau berbentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu), dipastikan akan ditolak DPR sehingga menimbulkan persoalan baru.

Ahli hukum tata negara dari Universitas Indonusa Esa Unggul, Irman Putrasidin, juga mengatakan, Presiden dapat dinilai bertindak inkonstitusional, jika menerbitkan perpu tentang pemberian minimal satu kursi untuk caleg perempuan, jika suatu parpol mendapatkan tiga kursi DPR/DPRD di sebuah dapil. Hal yang sama juga bisa dialamatkan ke KPU, jika menerbitkan ketentuan serupa.

”Putusan MK jelas, penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Selain final dan mengikat, setiap putusan MK juga seperti UUD yang bergerak. Sehingga, setiap ketentuan yang berbeda dengan putusan MK itu berarti tak konstitusional,” tegas Irman, Senin di Jakarta.

Jika Presiden membuat perpu yang berbeda dengan putusan MK, lanjutnya, dapat dinilai melanggar sumpah jabatannya seperti yang tercantum dalam Pasal 9 UUD 1945, yaitu memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan dengan selurus-lurusnya.

”Jika DPR menolak perpu tentang kebijakan afirmatif bagi perempuan dalam penetapan caleg terpilih, dan menyatakan pendapat perpu itu bertentangan dengan UUD 1945, proses pemakzulan kepada presiden berarti telah dimulai,” papar Irman.

Jika KPU membuat ketentuan serupa, tutur Irman, mereka dapat diadukan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), lalu dibawa ke Dewan Kehormatan KPU. Dengan tuduhan melanggar sumpah jabatan, yaitu melaksanakan UUD dan peraturan selurus-lurusnya, anggota KPU yang mendukung kebijakan itu juga dapat diberhentikan.

Menurut Irman, KPU salah tafsir jika merasa dapat membuat ketentuan tentang kebijakan afirmatif bagi perempuan dalam penetapan calon terpilih, setelah membaca surat MK tanggal 23 Januari 2009, yang ditandatangani wakil MK Abdul Mukthie Fajar. Dalam surat itu disebutkan, walaupun tanpa revisi UU atau pembentukan perpu, KPU dapat menetapkan calon terpilih anggota DPR/DPRD berdasarkan putusan MK.

”Dengan surat itu, MK sebenarnya ingin bicara, cepat segera laksanakan putusan kami tentang penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, tanpa perlu menunggu peraturan lain,” ujar Irman.

Mantan Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti mengingatkan, rekayasa pemilu melalui sistem pemilu terkadang tak bisa memasukkan semua hal yang diinginkan pada saat bersamaan. Sistem pemilu proporsional semi terbuka memang menguntungkan bagi usaha meningkatkan peluang terpilihnya perempuan dalam pemilu. Namun, hal ini tak sejalan dengan keinginan supaya suara terbanyak rakyatlah yang menentukan caleg terpilih.

Namun, Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan Kamala Chandrakirana mengingatkan, langkah afirmatif masih dibutuhkan. Masih banyak sektor yang memberikan konstruksi yang tidak seimbang bagi perempuan. (nwo/mam/tra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar