Selasa, 27 Januari 2009

Sosialisasi KPU "Berbahaya"

Dipertanyakan, Kecenderungan KPU Buat Aturan Tak Berdasar
Selasa, 27 Januari 2009 | 00:41 WIB 

Jakarta, Kompas - Langkah Komisi Pemilihan Umum bisa ”berbahaya kalau peraturan yang disosialisasikan justru berbeda dengan maksud Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Jika peraturan teknis yang dibuat KPU keliru dengan perumusan saat pembahasan Rancangan UU Pemilu, KPU bisa saja dianggap telah melanggar etika penyelenggara pemilu.

Saat silaturahim dengan perwakilan partai politik peserta Pemilu 2009 di Jakarta, Sabtu lalu, Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary, antara lain, memaparkan tata cara penetapan perolehan kursi dan calon terpilih anggota DPR. Namun, sejumlah klausul yang dipaparkan teridentifikasi berbeda dengan ketentuan dalam UU No 10/2008.

Misalnya saja, Hafiz menguraikan tata cara pembagian kursi DPR dengan tanpa menyertakan ketentuan ambang batas perolehan suara untuk penghitungan kursi di DPR (parliamentary threshold) yang sampai saat ini secara legal masih berlaku. Juga klausul yang disebutkan Hafiz, bahwa ”Apabila parpol memperoleh sejumlah kursi sedangkan nama-nama calon anggota DPR tidak ada yang memperoleh suara sah, maka nama calon terpilih anggota DPR diambil dari nama calon pada DCT anggota DPR daerah pemilihan terdekat yang berbatasan secara geografis.”

Sampaikan yang benar

Mantan anggota Panitia Khusus RUU Pemilu, Agus Purnomo (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, DI Yogyakarta), Senin (26/1) di Jakarta, menyebutkan, sosialisasi ala KPU berbahaya karena aturan yang dipaparkan berbeda dengan UU No 10/2008. Sebab, merupakan sosialisasi resmi, sewajibnya KPU menyampaikan ketentuan yang benar untuk menghindari penyebaran kesalahan ke semua tingkatan.

”Berbahaya, yang seperti ini bukan yang pertama dilakukan KPU. Bisa pelanggaran etika penyelenggara,” sebut Agus.

Secara terpisah, mantan Ketua Pansus Ferry Mursyidan Baldan (Fraksi Partai Golkar, Jawa Barat II) pun menilai KPU telah salah membuat aturan soal calon terpilih, jika pemilih hanya memberi tanda pada partai politik. Kursi yang diperoleh parpol bersangkutan tetap menjadi hak para calon parpol di daerah pemilihan itu, bukan seperti yang dipaparkan Hafiz pada Sabtu lalu.

Ferry juga mempertanyakan kecenderungan KPU membuat pengaturan yang tidak berdasar dan berpotensi menimbulkan konflik.

Menurut Agus, KPU sejak awal memang harus menyiapkan ketentuan teknis. Langkah terdekat untuk mengantisipasi kesalahan serupa, KPU mestinya bersedia berkonsultasi dengan penyusun UU untuk menghindari kesalahan penafsiran.

Saat pertemuan Sabtu lalu, Sekretaris Jenderal Partai Merdeka Muslich Zainal Asikin sudah meminta KPU menjelaskan ketentuan teknis berikut simulasinya. Tanpa itu, paparan KPU tidak akan efektif. Hanya dengan forum yang lebih fokus dan waktunya memadai, penjelasan KPU akan lebih mudah dipahami oleh para peserta pemilu, terutama dari parpol. (dik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar