Selasa, 03 Februari 2009

Persaingan Antarcaleg Menjurus Anarki

Selasa, 3 Februari 2009 | 01:43 WIB

Medan, Kompas - Panitia Pengawas Pemilihan Umum Sumatera Utara menilai, persaingan antarcalon anggota legislatif di beberapa kabupaten/kota telah menjurus anarki.

Caleg tak segan untuk saling menurunkan spanduk dan alat peraga milik pesaingnya, tetapi juga menebar fitnah untuk menjatuhkan kredibilitas pesaing di mata pemilih.

Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Umum Sumatera Utara Ikhwaluddin Simatupang mengungkapkan, berdasarkan temuan Panwas di beberapa kabupaten/kota di Sumut, kecenderungan anarkisme ini muncul karena caleg dituntut meraih suara terbanyak agar terpilih, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi.

Panwas Sumut, kata Ikhwaluddin, telah menerima sekitar 50 pengaduan terkait dengan aksi-aksi anarki yang merusak alat peraga caleg.

Menurut dia, beberapa pengaduan diajukan langsung oleh caleg yang alat peraganya jadi korban perusakan dan penurunan.

”Salah satunya caleg di Kabupaten Mandailing Natal yang alat peraganya diturunkan,” katanya sambil menambahkan, vandalisme dan perusakan alat peraga tidak semata-mata dilakukan caleg pesaing, tetapi juga oleh masyarakat.

Akan sampai pemilu

Pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara Ridwan Rangkuti mengungkapkan, aksi anarkisme caleg dan parpol ini memang dipicu keputusan MK tentang suara terbanyak.

Menurut dia, kecurangan ini akan terus berlangsung sampai hari pemungutan suara karena konsekuensi putusan MK membawa beberapa ketidakjelasan.

”Kalau dengan putusan MK ini kan berarti, sistem perolehan suara menggunakan sistem distrik, tetapi daerah pemilihannya menggunakan sistem proporsional. Ini yang menimbulkan keruwetan dan bukan tak mungkin terjadi politik uang di tingkat struktural KPU daerah,” ujarnya.

Dia menyebutkan, caleg yang sebelumnya mendapat nomor urut satu akan tetap berusaha terpilih dengan mekanisme suara terbanyak ini. Salah satunya dengan berbuat curang melalui struktur KPU di daerah, yakni panitia pemilihan kecamatan (PPK) dan panitia pemungutan suara (PPS).

Mekanisme pengawasan

Pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga Daniel Sparingga mengatakan, proses menuju rivalitas tidak sehat itu sedang terjadi, kendati awalnya partai bisa berharap mendulang suara sebanyak mungkin dengan mendorong para kader bekerja keras.

Setiap parpol, lanjutnya, harus melengkapi diri dengan mekanisme pengawasan yang memastikan seluruh etika kampanye dipenuhi kader di masing-masing daerah pemilihan. Dengan begitu, bisa dihindarkan rivalitas tidak sehat yang menimbulkan konflik dan merugikan partai sendiri.

Beberapa parpol sudah membuat kode etik dan beberapa lainnya masih menyiapkan. Partai Golkar dan PDI-P sudah menyiapkan sejak beberapa waktu lalu.

Adapun PKB membentuk dewan kehormatan yang terdiri atas dewan syuro yang tidak ikut mencalonkan diri. PPP juga segera menyiapkan kode etik.

Sejumlah pengurus partai politik di Kabupaten Jombang menguraikan, sejumlah mekanisme internal untuk mengatasi kemungkinan persaingan tidak sehat antarsesama caleg dalam partai mereka.

Sekretaris DPC PDI-P Kabupaten Jombang Bahana Bela Binanda menyebutkan, partainya menetapkan kebijakan segmentasi bagi setiap caleg yang akan bertarung.

”Setiap caleg kami yang bertarung mempunyai segmentasi massa sendiri-sendiri, seperti segmen petani, buruh, dan sebagainya. Jika terjadi beberapa caleg bertarung di segmen yang sama, kami tentukan pembagian wilayahnya,” kata Bahana.

Bagi Direktur Lingkar Indonesia untuk Keadilan (LinK) Jombang Aan Anshori, sejumlah langkah sebetulnya bisa diambil Panwas dan partai politik untuk mengantisipasi konflik.

”Ini adalah pertarungan para pemodal, siapa pun yang akan jadi, dialah yang memiliki modal cukup besar untuk kampanye. Karena itu, Panwas mesti mengawasi rekening para caleg untuk mengetahui dari mana dana kampanye itu berasal. Selain itu, partai politik harusnya punya regulasi internal untuk menjamin persaingan sehat antarsesama caleg,” kata Aan.

Adapun dosen Jurusan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Ahmad Sabiq SIP MA, Minggu, menyebutkan, putusan MK membuat caleg bernomor ”sepatu” merasa memiliki peluang sehingga berani bersaing lebih keras untuk mendapatkan suara.

”Bagi yang mempunyai dana besar, mereka bisa memasang alat peraga di mana-mana. Bagi yang tidak, tapi sudah terkenal, terpaksa juga memasang tapi tak banyak. Mereka memanfaatkan jaringan mereka,” kata Sabiq.

Dengan kata lain, menurut Sabiq, para ”caleg jadi” saat ini merasa kurang aman sehingga mereka yang semula ongkang-ongkang, kini mau tidak mau harus bekerja keras.

Tak pelak, perang spanduk, baliho, pamflet, dan poster pun terjadi di mana-mana. Meskipun demikian, menurut Sabiq, pemasangan atribut kampanye tidak menjamin elektabilitas.

”Responden cenderung akan memilih caleg yang mereka kenal dan ketahui,” katanya. (BIL/INA/INK/HAN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar